Mulai Lagi



Memulai aktifitas menulis cukup melelahkan. Karena perlu banyak pertimbangan dan membutuhkan banyak energi untuk berpikir. Mungkin disitulah saya sering melakukan kesalahan; sering banyak pertimbangan – padahal kalau mau nulis ya nulis saja tak perlu basa-basi – dan sering mengeluarkan energi yang tidak perlu untuk memikirkan hal-hal yang sebenarnya belum terjadi tapi dalam pikiran visioner ala-ala saya, bahwa nanti akan terjadi seperti apa yang saya pikirkan.

Disitu juga saya banyak menemukan sesuatu bahwa pikiran, akal atau intelegensi kita tak sepenuhnya  bisa diandalkan dalam menjalani hidup. Bahkan pada tahap tertentu pikiran dan kawan-kawannya itu banyak membuat falacy atau kesalahan dan pada akhirnya membuat hidup jadi semakin sulit.

Terlalu banyak mikir.

Ditambah dengan kurang yakin atau defisit  keyakinan. Ketika saya menulis ini ada saja keraguan akan bagaimana nanti tulisan saya ini akan ‘laku’ dibaca oleh orang lain. Padahal belum mulai menulis. Pada awalanya saya yakin tapi lama-kelamaan keyakinan itu mengurang. Yakin pada tahap tertentu bisa dengan hanya skedar mendengar kabar, lalu dengan ilmu atau intelegensi yaitu dengan pikiran kita dan setingkat diatas keyakinan yang berlandaskan pada keilmuan ada keyakinan pada hati kita.

Sebenarnya ada keyakinan satu tingkat lagi tapi saya belum sampai kesana. Karena pada tahap ‘ainul yakin saja saya masih keteteran saya masih menggunakan akal saya untuk bisa yakin.

Untung saya mengakui bahwa diri ini mesti banyak belajar dan mendeklarasikan diri sebagai pembelajar. Jadi mungkin ada efek yang tidak saya sadari bahwa saya mau belajar dan mau mengalah untuk terus belajar.

Mengalahkan ego itu susah. Apalagi yang lulusan sarjana, entah itu yang cumlaude ataupun yang IPKnya sekedar pas-pasan macam saya ini. Karena di benak kami para sarjana barangkali ada bangunan intelektual yang kami kira itu sudah bisa menjadikan kami ‘superior’ ditengah masyarakat atau komunitas tertentu. Nah itulah yang membuat para kaum sarjana muda enggan belajar dan mengakui bahwa mereka sebenarnya masih ‘bodoh’.

Yah.. mana mau sudah lulus sarjana mengaku bodoh...

Sudah keluar banyak uang dan tenaga, kok begitu saja menurunkan ‘derajatnya’ menjadi orang yang ‘bodoh’. Kalau kembali lagi jadi mahasiswa mereka (mungkin juga termasuk saya) akan unjuk rasa. Entah pada siapa tujuannya dan apa kepentingannya. Tapi saya punya pandangan lain terhadap kata ‘bodoh’ disitu. Bahwasanya kita memang harus banyak belajar lagi, toh di kampus kebanyakan makan teori dari buku-buku ditambah dengan diskusi, itu juga dari buku sumbernya. Sama saja. Jadi ketika di dunia nyata atau di masyarakat itu beda jauh dengan keadaan ketika di kampus.

Nyatanya kita memang ‘bodoh’ atau mungkin saya saja lah yang ‘bodoh’, barangkali ada yang tersinggung sudah sarjana kok dikatain ‘bodoh’. Maka dari itu kita harus terus menerus belajar. Learning till die. Long life learning.

Untuk orang yang tidak mau atau belum atau memang belum mau mengakui kebodohannya sebenarnya tidak apa-apa. Tapi saya punya pengalaman luar biasa ketika saya merasa ‘bodoh’ dan mesti belajar lagi. Yaitu sebuah kenyamanan dan rasa lega. Yang saya rasakan tidak akan pernah teman-teman rasakan jika belum merasakannya langsung.

Coba saja..



Photo by revac film's&photography from Pexels

Comments

Popular posts from this blog

Hal Sederhana Yang Menuntut Ketidaksederhanaan

Merefleksikan Nama-Nya

Mbah Adam dan Kedewasaan