“asal mas tau saja, asam lambung itu kalau menetes di lantai lantainya bisa pecah” kata salah satu pegawai atau sales obat yang sedang saya ajak berbincang di samping gerobak warung kopi ala kaki lima. Sambil menenggak kopi saya pun terkagum sekaligus khawatir. Kagum saya akan ciptaan gusti Allah SWT yang luar biasa itu, dan khawatir bagaimana jika di dalam lambung manusia hina macam saya ini, ternyata mempunyai gangguan lambung yang bukan saja menyebabkan lantai pecah tapi seisi rumah bisa runtuh. Bahkan meledak. Saya membayangkan saya sedang menelan nuklir. Nuklir itu pun kini terancam meledak, di benak saya.
Malam itu aku bersama dengan sahabat-sahabatku di kampung berbincang-bincang ringan. Temanya tidak begitu spesifik bahkan terkesan random. Memang biasanya seperti itulah obrolan kami setiap bertemu. Tapi yang paling membuat endorphin kami naik sangat tajam adalah – sehingga menghasilkan ledakan tawa yang luar biasa – ketika kami membicarakan masa-masa SMP dan SMA, karena di masa itulah banyak peristiwa dan ‘ketidakwarasan’ perliaku kami. Semakin larut malam ada beberapa teman yang pamit pulang ke rumah, untuk istirahat. Kami tak pernah mengharuskan semua yang ada disitu untuk tetap melek sampai larut malam. Karena semakin dewasa semakin banyak pula kesibukan, ada memang yang tidak sibuk-sibuk amat tapi karena kemampuan begadangnya kurang diolah jadilah dia tidak biasa seperti kami-kami yang tidak sibuk ini. Semakin malam, semakin sunyi. Udara dingin menekan dada, angin mengurangi kecepatannya karena kasihan terhadap kami manusia yang lemah ini, jika dia terus menaikan ke...
Aku tak mampu menjadi dia, dan menjadi seperti mereka. Begitu juga mereka tak akan mampu menjadi aku. Karena kita berbeda satu sama lain. Walaupun hakikatnya sama dan satu. Jadi untuk apa aku harus menjadi dia dan menjadi mereka seperti mereka yang pasti menolak menjadi sepertiku. Maka aku adalah aku. Dan aku bukan siapa-siapa. Begitu juga seharusnya mereka. Di hadapan Dia yang Tunggal kita sirna, tak berbekas. Catat itu! Itu yang aku temukan di dalam pembelajaran tanpa institusi dan parameter ukuran angka dengan jarak yang masih terlampau jauh. Panjang jalan yang telah aku lalui, sekarang pun baru aku seperempat jalan dari miliaran kilometer. Semakin jauh kita melangkah. Banyak yang akan kita temukan dan berakhir dengan kemanunggalan. Aku percaya pada prinsip itu. Terutama dalam langkah mencari diri yang sejati.
Comments
Post a Comment