Menepilah



Malam itu aku bersama dengan sahabat-sahabatku di kampung berbincang-bincang ringan. Temanya tidak begitu spesifik bahkan terkesan random. Memang biasanya seperti itulah obrolan kami setiap bertemu. Tapi yang paling membuat endorphin kami naik sangat tajam adalah – sehingga menghasilkan ledakan tawa yang luar biasa – ketika kami membicarakan masa-masa SMP dan SMA, karena di masa itulah banyak peristiwa dan ‘ketidakwarasan’ perliaku kami.

Semakin larut malam ada beberapa teman yang pamit pulang ke rumah, untuk istirahat. Kami tak pernah mengharuskan semua yang ada disitu untuk tetap melek sampai larut malam. Karena semakin dewasa semakin banyak pula kesibukan, ada memang yang tidak sibuk-sibuk amat tapi karena kemampuan begadangnya kurang diolah jadilah dia tidak biasa seperti kami-kami yang tidak sibuk ini.

Semakin malam, semakin sunyi. Udara dingin menekan dada, angin mengurangi kecepatannya karena kasihan terhadap kami manusia yang lemah ini, jika dia terus menaikan kecepatan hembusnya niscaya kami semua bukan hanya masuk angin tapi juga ‘dikuasai angin’ dan akhirnya kami bisa sakit-sakit yang lumayan berat. Jadi malam itu angin menunjukan kasih sayangnya pada sekelompok anak muda yang sedang begadang.

Angin saja berkasih sayang, masa kita tidak.

Ditengah dingin malam itu perlahan mulai keluar obrolan-obrolan yang menjadi renungan kami bersama. Ada yang mengangkat tema kematian dengan menceritakan telah berpulangnya orang-orang terdekat dari masing-masing kami. Apalagi usianya lebih muda dibanding kami-kami ini. Ada sedikit rasa seram menghinggapi kami tapi perlahan kami sadar mereka sudah tidak ada.

Tapi ada kekhawatiran yang aku lihat dari sorot mata kawan-kawanku malam itu. Kekhawtiran mereka adalah ketika berhadapan dengan esok hari. Mereka yang sebagian sudah bekerja itu baru saja habis kontrak kerja, jadi besok dan seterusnya mereka menganggur. Malam itu adalah hari kesekian bagi mereka paska habis kontrak. Mereka punya banyak keinginan dan cita-cita.

Kudengar keinginan mereka tak ada yang ingin menenangkan diri sejenak dalam dunia (dan sistem yang sedang berjalan) yang semakin menjadikan materi (uang dll) sebagai patokan utama kehidupan. Aku pun sama, punya keinginan. Akan tetapi yang paling utama bagiku adalah keinginanku untuk menjadi manusia yang lepas dari belenggu keduniawian. Bukan aku tak butuh dunia tapi aku tak ingin dunia menaklukanku, aku ingin sebaliknya.

Bukan, bukannya sok suci dan sok menjadi ustad, rohaniawan atau sejenisnya. Aku hanya ingin mngungkapkan sebagian yang kuketahui tentang hakikat kita sebagai manusia.

Bagiku setiap manusia adalah rohaniawan. Karena dia bukan hanya jasad tapi juga roh. Bahkan rohani yang paling banyak mendominasi jasad, pada hakikatnya. Hanya saja setiap orang tidak selalu menyadari hakikat tersebut, prase ‘tidak selalu’ merujuk pada orang yang tahu dan mungkin sadar betul tentang hal ini tapi kadang dia juga bisa lupa dan alpa akan adanya Tuhan dalam setiap detik kehidupannya ketika terjebak dilingkaran materi. Karena dia berada pada lingkungan dan proses hidup yang matrealistik.

Maka dari itu alangkah lebih baiknya jika kita istirahat sejenak, untuk yang sedang berlari di jalan materi. Istirahatlah. Untuk yang sudah mengetahui tentang hakikat ini mungkin alangkah baiknya bersegeralah mengambil jalan yang sunyi dan sepi, cari jalan itu.

“Menepilah.”

Mungkin itu saja pesanku untuk pertemuan malam itu. Walau tak ku katakan secara langsung di hadapan kawan-kawanku, setidaknya aku sudah mengatakannya di dalam hati. 


Semoga mereka cepat mendapat pekerjaan kembali. Amin..

Comments

Popular posts from this blog

Hal Sederhana Yang Menuntut Ketidaksederhanaan

Mbah Adam dan Kedewasaan

Bibit dan Sumber Mata Air